Warisan UTANG para Presiden kita Indonesia !!!
"Bang, ada tulisan yang menyoroti hutang Jokowi.."
"Iya, gimana tulisannya ?
"Katanya, dalam 3 tahun ini Jokowi nambah hutang seribu triliunan..."
"Ya baguslah.."
"Lhoo kok bagus, bang? Kasian anak cucu kita nanti, sekarang saja kata Menkeu setiap warga negara menanggung hutang 13 jutaan per orang.."
"Sekarang coba tanya ke dia, berapa hutang sebelum Jokowi ?"
"Eh, 2600 triliun bang.."
"Nah, coba tanya dia lagi, bagaimana cara bayar hutang 2600 triliun itu ?"
Diam.
Semua orang yang menyoroti besarnya hutang di era Jokowi, satupun tidak pernah memberi solusi bagaimana membayar hutang-hutang di era sebelum Jokowi?
Bagaimana membayar hutang 2600 triliun rupiah itu dengan pendapatan yang pas-pasan bahkan cenderung kurang?
Tidak, mereka tidak akan pernah membahas itu karena buat mereka "salahkan semua pada Jokowi". Jokowi tahu bahwa ketika ia menjabat, ia mewarisi hutang negara sangat besar. Hampir 3 ribu triliun rupiah, bukan main-main. Dan selama puluhan tahun, negeri ini harus berhutang lagi untuk membayar hutang. Terus begitu sehingga hutang pun membengkak..
Lama-lama kita bisa seperti Yunani, bangkrut karena terlilit hutang karena pendapatan negara tidak cukup bahkan untuk mencicil pokok hutang saja.
Seandainya kita kredit mobil dan gak mampu bayar cicilan lebih dari tiga bulan, apa yang terjadi? Jelas mobil disita debt collector kan? Dan jika itu terjadi pada Indonesia, mau tidak mau kita harus menjual BUMN kita kepada asing untuk bayar hutang seperti kasus Indosat masa Megawati dulu.
Mau seperti itu lagi?
Tentu tidak.
Oke, lalu bagaimana caranya?
Cara yang terbaik adalah duduk dulu sejenak dan berfikir. Pikirkan potensi apa yang kita punya sekarang untuk membayar hutang-hutang itu. Daripada sibuk mengeluh, kenapa tidak fokus bicara solusi?
Kita temukan dulu akar masalahnya. Masalahnya bukan di BESAR hutangnya, tapi bagaimana cara BAYARnya. Hutang besar kalau mampu bayar tidak masalah..
Nah, sekarang pikirkan cara bayarnya..
Negeri ini kaya. Sangat kaya. Tapi baru 30 persen yang tergali. Bayangkan seandainya semua provinsi di negeri ini bergerak produktif, kita bukan saja bisa membayar cicilan bahkan melunasinya. Kalau bisa malah menghutangi negeri lain seperti China.
Jokowi melihat potensi itu dan -layaknya tukang kayu- ia mulai mengukur besarnya pendapatan sekarang dan potensi pendapatan ke depan. Oke, ketemu masalahnya. Pendapatan kita kurang, biaya operasional kita terlalu besar dan hutang kita menumpuk.
Hal yang pertama dilakukan adalah re-negosiasi hutang. Hutang yang ada sekarang minta di schedule lagi dengan pembayaran lebih lunak dan jangka waktu lebih panjang. Apa yang ditawarkan supaya pemberi hutang mau ? Tawarkan potensi pendapatan yang lebih besar..
Selain itu, minta tambahan hutang. Buat apa? Ya buat membangun sumber pendapatan baru yang lebih besar dong. Bagaimana cara membangun sumber pendapatan baru kalo duitnya aja gak ada ?
Ini logika berfikir para pengusaha, bukan PNS yang mengandalkan gaji bulanan plus surat gadai. Jokowi itu pengusaha yang sudah terbukti sukses membawa perusahaannya dari nol menjadi bernilai puluhan miliar rupiah. Nilainya kecil memang dibandingkan nilai perusahaan Bakrie, tetapi sangat sehat.
Sehat itu yang penting, jangan gemuk aer dan suka sakit-sakitan. Maka bisa kita lihat pembangunan infrastruktur dimana-mana dengan nilai ratusan triliun rupiah yang di-mix antara hutang dengan kerjasama. Mulai jalan, listrik, waduk, rel kereta dan banyak lagi.
Selain itu beban biaya yang tidak produktif dan besar dipangkas, seperti subsidi BBM dan listrik yang konsumtif. Subsidi dialihkan ke pendidikan dan kesehatan supaya SDM bisa lebih produktif.
Para pemberi hutang dan investor senang melihat potensi Indonesia bangkit. Biasanya kalau bank senang mereka akan menawarkan lagi, "Gak mau hutang lagi pak? Kami percaya bapak.." Ingat, bank itu melihat potensi pembayar hutang bukan besarnya kekayaan si penghutang.
Jika infrasttruktur sudah selesai dan negeri ini mulai produktif kembali sehingga pendapatan kita lebih besar dari cicilan hutang, tentu kita sudah bisa memperkirakan berapa tahun lagi hutang kita lunas. Kalau sudah memasuki era itu, maka sejahteralah kita semua..
Sekali lagi, ini logika berfikir para pengusaha sehat bukan buruh yang sibuk demo minta kenaikan sambil naik motor yang cicilannya hampir 4 juta perbulan.
Itulah bedanya Jokowi dengan pemimpin sebelumnya. Kalau sebelumnya berfikir bagaimana bisa bertahan - bahkan malah ada yang memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan dirinya - Jokowi sudah berfikir bagaimana "menyelesaikan" semua ini.
Tentu memulainya akan sangat sakit dan pemimpin yang berani melakukannya siap untuk tidak populer. Tapi ini harus dilakukan, kalau tidak kedepan nanti negeri kita akan bangkrut. Ibarat sakit jangan terus dikash penahan sakit, tapi operasi biar tuntas masalahnya.
Semoga kamu paham perbincangan sederhana ini.."
"Terus penulis yang menulis tentang hutang negara itu enaknya diapain ya, bang ?"
"Biarkan saja, seperti kata pepatah 'sirik itu tanda cacingan'. Coba kasih makan kurma, anggap aja di Ragunan.."
Secangkir kopi pun terhidang di pagi hari.
Sumber : dennysiregar.com
"Iya, gimana tulisannya ?
"Katanya, dalam 3 tahun ini Jokowi nambah hutang seribu triliunan..."
"Ya baguslah.."
"Lhoo kok bagus, bang? Kasian anak cucu kita nanti, sekarang saja kata Menkeu setiap warga negara menanggung hutang 13 jutaan per orang.."
"Sekarang coba tanya ke dia, berapa hutang sebelum Jokowi ?"
"Eh, 2600 triliun bang.."
"Nah, coba tanya dia lagi, bagaimana cara bayar hutang 2600 triliun itu ?"
Diam.
Bagaimana membayar hutang 2600 triliun rupiah itu dengan pendapatan yang pas-pasan bahkan cenderung kurang?
Tidak, mereka tidak akan pernah membahas itu karena buat mereka "salahkan semua pada Jokowi". Jokowi tahu bahwa ketika ia menjabat, ia mewarisi hutang negara sangat besar. Hampir 3 ribu triliun rupiah, bukan main-main. Dan selama puluhan tahun, negeri ini harus berhutang lagi untuk membayar hutang. Terus begitu sehingga hutang pun membengkak..
Lama-lama kita bisa seperti Yunani, bangkrut karena terlilit hutang karena pendapatan negara tidak cukup bahkan untuk mencicil pokok hutang saja.
Seandainya kita kredit mobil dan gak mampu bayar cicilan lebih dari tiga bulan, apa yang terjadi? Jelas mobil disita debt collector kan? Dan jika itu terjadi pada Indonesia, mau tidak mau kita harus menjual BUMN kita kepada asing untuk bayar hutang seperti kasus Indosat masa Megawati dulu.
Mau seperti itu lagi?
Tentu tidak.
Oke, lalu bagaimana caranya?
Cara yang terbaik adalah duduk dulu sejenak dan berfikir. Pikirkan potensi apa yang kita punya sekarang untuk membayar hutang-hutang itu. Daripada sibuk mengeluh, kenapa tidak fokus bicara solusi?
Kita temukan dulu akar masalahnya. Masalahnya bukan di BESAR hutangnya, tapi bagaimana cara BAYARnya. Hutang besar kalau mampu bayar tidak masalah..
Nah, sekarang pikirkan cara bayarnya..
Negeri ini kaya. Sangat kaya. Tapi baru 30 persen yang tergali. Bayangkan seandainya semua provinsi di negeri ini bergerak produktif, kita bukan saja bisa membayar cicilan bahkan melunasinya. Kalau bisa malah menghutangi negeri lain seperti China.
Jokowi melihat potensi itu dan -layaknya tukang kayu- ia mulai mengukur besarnya pendapatan sekarang dan potensi pendapatan ke depan. Oke, ketemu masalahnya. Pendapatan kita kurang, biaya operasional kita terlalu besar dan hutang kita menumpuk.
Hal yang pertama dilakukan adalah re-negosiasi hutang. Hutang yang ada sekarang minta di schedule lagi dengan pembayaran lebih lunak dan jangka waktu lebih panjang. Apa yang ditawarkan supaya pemberi hutang mau ? Tawarkan potensi pendapatan yang lebih besar..
Selain itu, minta tambahan hutang. Buat apa? Ya buat membangun sumber pendapatan baru yang lebih besar dong. Bagaimana cara membangun sumber pendapatan baru kalo duitnya aja gak ada ?
Ini logika berfikir para pengusaha, bukan PNS yang mengandalkan gaji bulanan plus surat gadai. Jokowi itu pengusaha yang sudah terbukti sukses membawa perusahaannya dari nol menjadi bernilai puluhan miliar rupiah. Nilainya kecil memang dibandingkan nilai perusahaan Bakrie, tetapi sangat sehat.
Sehat itu yang penting, jangan gemuk aer dan suka sakit-sakitan. Maka bisa kita lihat pembangunan infrastruktur dimana-mana dengan nilai ratusan triliun rupiah yang di-mix antara hutang dengan kerjasama. Mulai jalan, listrik, waduk, rel kereta dan banyak lagi.
Selain itu beban biaya yang tidak produktif dan besar dipangkas, seperti subsidi BBM dan listrik yang konsumtif. Subsidi dialihkan ke pendidikan dan kesehatan supaya SDM bisa lebih produktif.
Para pemberi hutang dan investor senang melihat potensi Indonesia bangkit. Biasanya kalau bank senang mereka akan menawarkan lagi, "Gak mau hutang lagi pak? Kami percaya bapak.." Ingat, bank itu melihat potensi pembayar hutang bukan besarnya kekayaan si penghutang.
Jika infrasttruktur sudah selesai dan negeri ini mulai produktif kembali sehingga pendapatan kita lebih besar dari cicilan hutang, tentu kita sudah bisa memperkirakan berapa tahun lagi hutang kita lunas. Kalau sudah memasuki era itu, maka sejahteralah kita semua..
Sekali lagi, ini logika berfikir para pengusaha sehat bukan buruh yang sibuk demo minta kenaikan sambil naik motor yang cicilannya hampir 4 juta perbulan.
Itulah bedanya Jokowi dengan pemimpin sebelumnya. Kalau sebelumnya berfikir bagaimana bisa bertahan - bahkan malah ada yang memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan dirinya - Jokowi sudah berfikir bagaimana "menyelesaikan" semua ini.
Tentu memulainya akan sangat sakit dan pemimpin yang berani melakukannya siap untuk tidak populer. Tapi ini harus dilakukan, kalau tidak kedepan nanti negeri kita akan bangkrut. Ibarat sakit jangan terus dikash penahan sakit, tapi operasi biar tuntas masalahnya.
Semoga kamu paham perbincangan sederhana ini.."
"Terus penulis yang menulis tentang hutang negara itu enaknya diapain ya, bang ?"
"Biarkan saja, seperti kata pepatah 'sirik itu tanda cacingan'. Coba kasih makan kurma, anggap aja di Ragunan.."
Secangkir kopi pun terhidang di pagi hari.
Sumber : dennysiregar.com