Tragedi Pilu Kanjuruhan : 'Terinjak Injak, Sesak Napas, Pingsan - Saya Pasrah, Kalau Mati Disini Tak Apa - Apa'
Wartapagi.id -- Dimulai dari berbagai hal, dari gas air mata yang ditembakkan lalu berdesakkan untuk mencari jalan keluar, bahkan berada diantara tumpukan manusia. Berasal dari keluarga yang mencintai sepak bola, terutama klub Arema Malang, salah satunya Aulia Rachman, 16 tahun, sedang menonton Arema Malang bertanding merupakan suatu kewajiban baginya dan khususnya, sang ayah. Merupakan simbol untuk arek Malang yaitu Arema Malang adalah tentang harga diri dan identitas, kata Aulia.
Baca juga : Apa Arti Bestie Bahasa Gaul Anak Jaman Sekarang Update.
Dulu saat izin berangkat tidak dinasihati. Namun kemarin bilang ‘hati-hati yo le‘ [hati-hati ya nak],“ kata Aulia. Dengan bermodal Tiket didapat dari calo seharga Rp 70.000, kemudian berangkat dan tiba di stadion pukul 17:00 WIB. Selepas azan Magrib menuju Tribun 14 setelah ngobrol bersama temannya, Aulia masuk ke dalam stadion. Bersama tujuh orang teman di belakang pagar paling bawah, Saya pasang tulisan psywar dan jaga di sana, tutur Aulia. Terdapat juga di sebelahnya banyak penonton balita, anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, hingga lanjut usia. Begitu antusias penonton yang berdiri, membuat saya memutuskan pindah ke bagian atas tribun, tutur Aulia.
Waktu berputar dengan sangat cepat. “Saat pertandingan berakhir, saya melihat satu-dua orang dari tribun saya turun ke lapangan. Petugas menangkap mereka. Lalu semakin banyak yang turun [ke lapangan],“ katanya. Dilepaskanlah rentetan tembakan gas air mata ke berbagai titik oleh aparat, “sehingga kemudian Tribun 10 sampai 14 langsung empat tembakan [gas air mata]. Di depan saya banyak asap, saya tidak kuat dan coba turun [ke tangga keluar stadion],” katanya.
“Pas turun saya kira cuma turun biasa, tidak tahunya banyak yang turun. Ibu-ibu kan baru pertama kali merasakan gas air mata, mereka panik ingin cepat-cepat keluar stadion, desak-desakan,“ katanya. Kenang Aulia saat di lantai datar tangga itu, para penonton berjatuhan dan saling menimpa. “Pas [pada bagian] datar ada yang jatuh, lalu ketimpa dari atas dan macet di situ. Padahal ke bawahnya ke tangga tidak ada apa-apa. Jadi menumpuk di tengah.“ Sehingga saya yang berada di tangga atas semakin terdorong ke arah tumpukan dan saat berdesakan, gas air mata membuat mata Aulia perih dan tidak bisa bernafas, saat itu,”seperti nafas di air, susah. Sedetik nafas, ambilnya [udara] sakit”. “Saya pasrah, kalau mati di sini tak apa-apa,” kenang Aulia.
Semakin terdesak hingga jatuh tengkurap, tertumpuk di antara orang-orang. ”Saya tengkurap, masih sadar, banyak orang injak-injak di atas saya,” kata Aulia. “Tambah banyak, ratusan yang tertumpuk di situ,” katanya. ”Saat itu saya masih sadar, di bawah saya ada orang, di bawah ada lagi, dan lagi. Saya lihat yang paling bawah [tumpukan] sepertinya sudah meninggal, pucat mukanya, anak remaja,” ujar Aulia.
Setelah kejadian itu, Aulia pingsan.
Ketika pipi kanan Aulia ditampar oleh orang yang mengenakan seragam tentara dan diberikan minum maka kesadarannya berangsur pulih. Auliapun merasakan seseorang
mengoleskan pasta gigi di bawah kelopak matanya.
Mencoba bernafas perlahan dan membuka mata, Aulia menyadari telah berada di ruangan teras VIP dan merasa kakinya sakit karena tertimpa dan terinjak-injak.
Saat menoleh ke kiri dan kanan, Aulia melihat banyak orang terbaring di sebelahnya. “Banyak mayat, saya tidak kuat, sedih. Saya minta teman tolong keluarin dari sini. Saya dipanggul ke luar stadion dan dibawa ke tempat kopi,“ ujarnya. Langsung menghubungi orang tuanya dan dijemput untuk kemudian dibawa ke tempat pijat. “Saat orang tua jemput, mereka bersyukur karena saya masih hidup. Mereka tidak marah. Soalnya di kampung cuma saya yang belum ketemu, teman lain sudah di rumah,“ ujarnya.
Saat pembicaraan akhir, Aulia mengaku tidak mengerti mengapa aparat keamanan menembakkan gas air mata, khususnya ke tribun ekonomi. Saat perjalanan, dia merasa gelisah, ”seperti ada orang di mobil, tapi tidak ada” dan tiba di rumahnya sekitar pukul 11 malam.
Korban yang meninggal akibat tragedi di Stadion Kanjuruhan bertambah menjadi 131 orang dan menurut data resmi Polri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, ada 35 orang di antara mereka adalah anak-anak. Tragedi Kanjuruhan ini menjadi bencana sepak bola terburuk kedua di dunia, setelah sebelumnya peristiwa di Estadio Nacional, Lima, Peru pada 1964 yang menewaskan lebih dari 300 orang.
Dikutip dari : BBC News Indonesia.
Baca juga : Apa Arti Kena Limit di Tiktok yang Patut Diketahui Pengguna.
Baca juga : Apa Arti Bestie Bahasa Gaul Anak Jaman Sekarang Update.
Dulu saat izin berangkat tidak dinasihati. Namun kemarin bilang ‘hati-hati yo le‘ [hati-hati ya nak],“ kata Aulia. Dengan bermodal Tiket didapat dari calo seharga Rp 70.000, kemudian berangkat dan tiba di stadion pukul 17:00 WIB. Selepas azan Magrib menuju Tribun 14 setelah ngobrol bersama temannya, Aulia masuk ke dalam stadion. Bersama tujuh orang teman di belakang pagar paling bawah, Saya pasang tulisan psywar dan jaga di sana, tutur Aulia. Terdapat juga di sebelahnya banyak penonton balita, anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, hingga lanjut usia. Begitu antusias penonton yang berdiri, membuat saya memutuskan pindah ke bagian atas tribun, tutur Aulia.
Waktu berputar dengan sangat cepat. “Saat pertandingan berakhir, saya melihat satu-dua orang dari tribun saya turun ke lapangan. Petugas menangkap mereka. Lalu semakin banyak yang turun [ke lapangan],“ katanya. Dilepaskanlah rentetan tembakan gas air mata ke berbagai titik oleh aparat, “sehingga kemudian Tribun 10 sampai 14 langsung empat tembakan [gas air mata]. Di depan saya banyak asap, saya tidak kuat dan coba turun [ke tangga keluar stadion],” katanya.
“Pas turun saya kira cuma turun biasa, tidak tahunya banyak yang turun. Ibu-ibu kan baru pertama kali merasakan gas air mata, mereka panik ingin cepat-cepat keluar stadion, desak-desakan,“ katanya. Kenang Aulia saat di lantai datar tangga itu, para penonton berjatuhan dan saling menimpa. “Pas [pada bagian] datar ada yang jatuh, lalu ketimpa dari atas dan macet di situ. Padahal ke bawahnya ke tangga tidak ada apa-apa. Jadi menumpuk di tengah.“ Sehingga saya yang berada di tangga atas semakin terdorong ke arah tumpukan dan saat berdesakan, gas air mata membuat mata Aulia perih dan tidak bisa bernafas, saat itu,”seperti nafas di air, susah. Sedetik nafas, ambilnya [udara] sakit”. “Saya pasrah, kalau mati di sini tak apa-apa,” kenang Aulia.
Semakin terdesak hingga jatuh tengkurap, tertumpuk di antara orang-orang. ”Saya tengkurap, masih sadar, banyak orang injak-injak di atas saya,” kata Aulia. “Tambah banyak, ratusan yang tertumpuk di situ,” katanya. ”Saat itu saya masih sadar, di bawah saya ada orang, di bawah ada lagi, dan lagi. Saya lihat yang paling bawah [tumpukan] sepertinya sudah meninggal, pucat mukanya, anak remaja,” ujar Aulia.
Setelah kejadian itu, Aulia pingsan.
Ketika pipi kanan Aulia ditampar oleh orang yang mengenakan seragam tentara dan diberikan minum maka kesadarannya berangsur pulih. Auliapun merasakan seseorang
mengoleskan pasta gigi di bawah kelopak matanya.
Mencoba bernafas perlahan dan membuka mata, Aulia menyadari telah berada di ruangan teras VIP dan merasa kakinya sakit karena tertimpa dan terinjak-injak.
Saat menoleh ke kiri dan kanan, Aulia melihat banyak orang terbaring di sebelahnya. “Banyak mayat, saya tidak kuat, sedih. Saya minta teman tolong keluarin dari sini. Saya dipanggul ke luar stadion dan dibawa ke tempat kopi,“ ujarnya. Langsung menghubungi orang tuanya dan dijemput untuk kemudian dibawa ke tempat pijat. “Saat orang tua jemput, mereka bersyukur karena saya masih hidup. Mereka tidak marah. Soalnya di kampung cuma saya yang belum ketemu, teman lain sudah di rumah,“ ujarnya.
Saat pembicaraan akhir, Aulia mengaku tidak mengerti mengapa aparat keamanan menembakkan gas air mata, khususnya ke tribun ekonomi. Saat perjalanan, dia merasa gelisah, ”seperti ada orang di mobil, tapi tidak ada” dan tiba di rumahnya sekitar pukul 11 malam.
Korban yang meninggal akibat tragedi di Stadion Kanjuruhan bertambah menjadi 131 orang dan menurut data resmi Polri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, ada 35 orang di antara mereka adalah anak-anak. Tragedi Kanjuruhan ini menjadi bencana sepak bola terburuk kedua di dunia, setelah sebelumnya peristiwa di Estadio Nacional, Lima, Peru pada 1964 yang menewaskan lebih dari 300 orang.
Dikutip dari : BBC News Indonesia.
Baca juga : Apa Arti Kena Limit di Tiktok yang Patut Diketahui Pengguna.
Posting Komentar untuk "Tragedi Pilu Kanjuruhan : 'Terinjak Injak, Sesak Napas, Pingsan - Saya Pasrah, Kalau Mati Disini Tak Apa - Apa'"